Journey Santong

Diantara Panorama Hutan Santong dan Mistik

Minggu 31 Mei 2015 saya kembali mengunjungi Lombok Utara tepatnya desa Santong dengan tujuan air terjun tertinggi di NTB. Berangkat dari rumah (Selong Kab Lotim) pada hari sabtu dan menginap di salah satu rumah sahabat karib (orang yang ingin melihat panorama di Hutan Santong Lombok Utara). Dari mataram kami berangkat pukul 06.00 pagi dengan harapan bisa istirahat yang cukup karena lokasi yang akan kami kunjungi lumayan jauh dan memakan tenaga. Sekitar pukul 7.45 kami sampai dipersimpangan menuju ke Santong, dan akhirnya kami memutuskan untuk sarapan di warung pinggir jalan. Pukul 08.15 kami selesai sarapan dan tiba-tiba tergoda dengan jajanan khas lombok yaitu “gegodoh” (pisang goreng), dan akhirnya kami membeli pisang goreng sebagai bekal nanti dilokasi air terjun.
Sekitar pukul 09.00 kami tiba di desa Santong dan mampir di rumah salah satu kerabat lama (yang akan mengantar ke lokasi air terjun). Seperti biasanya kamipun di jamu dengan kopi sekalian istirahat lagi sambil berbincang-bincang, maklum terakhir bertemu tahun 2011. Cukup sudah istirahatnya dengan menikmati secangkir kopi, kamipun melanjutkan perjalanan. Tapi saya cukup terkejut di saat teman ini membawa dua orang anaknya yang kira-kira berusia 5 dan 2 tahun, dalam hati saya bertanya apakah kami akan sampai ke lokasi air terjun? dengan kondisi membawa anak-anak terlebih rutenya akan melintasi hutan belantara Santong.
Detik berganti menit, akhirnya rombongan kami tiba di pintu masuk air terjun Tiu Teja. Kami pun turun untuk menikmati panorama Tiu Teja. Disela-sela saat kami menikmati panorama air terjun Tiu Teja, tiba-tiba teman itu minta izin untuk pulang karena kondisi anaknya yang mulai kedinginan. Dengan kondisi tersebut, saya bertanya kepada teman yang berasal dari gunung sari, "bang, terus bagaimana dengan rencana ke air terjun Sekeper?" Akhirnya kami diskusi sebentar dan teman yang berasal dari Santong tersebut mengatakan nanti saya akan kembali, saya mengantar anak saya pulang dulu karena saya pikir kita tidak ke Sekeper.
Keraguan saya akhirnya terjawab, kami sudah miss komunikasi sebelumnya. Akhirnya sekitar 15 menit setelah teman dan anak-anaknya naik, kamipun naik dan berencana untuk menunggu di atas sekalian beli air minum untuk persiapan perjalanan. Kurang lebih 30 menit kami menunggu, tapi teman itu tak kunjung dating, sempat menghubungi, tapi signal tidak ada sama sekali dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat berdua menuju air terjun Sekeper.
Langkah demi langkah telah kami lalui dan tak terasa sudah 20 menit kami meninggalkan lokasi air terjun Tiu Teja. Dalam perjalanan kami mengatakan “ini adalah petualangan jadi apapun kondisi yang kita temukan harus kita nikmati atau dengan kata lain tidak saling menyalahkan”. Akhirnya beberapa menit kemudian kami beetemu dengan seorang warga yang sedang mengambil kayu hutan. Lantas kami menanyakan arah menuju air terjun Sekeper.
Kami melanjutkan perjalanan dan selama itu kami hanya disuguhkan pemandangan hutan belantara Santong yang terkadang ada bebrrapa pohon besar yang sudah ditebang. Karena sudah merasa lelah, kami pun istirahat untuk minum dan menikmati bekal kami (pisang goreng). Setelah merasa cukup untuk istirahat, kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti bekas ban sepeda motor dan beberapa jejak kaki. Entah karena merasa kelelahan, teman saya pun mengatakan "bang sepertinya ada suara-suara orang", lantas saya tidak begitu menghiraukannya dengan alasan agar tidak terbawa suasana. Di atas kami menemukan 2 sepeda motor yang terparkair, lantas kami membuat canda-candaan "bang bagaimana kalo kita ngojek saja". Kamipun tertawa untuk menghibur diri karena kondisi yang sudah melelahkan. Sekitar 200 meter kami meninggalkan lokasi sepede motor tersebut, kamipun mulai ragu untuk malanjutkan perjalanan, dan akhirnya kami kembali dan bertemu dengan pemilik motor yang sedang parkir tersebut. Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya, karena sangat jarang sekali bisa bertemu dengan warga. Kami menanyakan arah menuju air terjun, dan kami dijawab "salah jalur pak, kalo kesini itu menuju hulu airnya, disana ada air mancur kalo bahasa sasaknya itu “pengembulan” yang debit airnya mencapai sekitar 121 l/s.
Sembari beristirahat kami berbincang-bincang, kami diceritakan bahwa sekitar satu bulan yang lalu ada seorang pengunjung yang meninggal dunia di air terjun Sekeper. Warga tersebut berpendapat kalo orang yang meninggal tersebut mengalami kram air setelah perjalanan yang melelahkan (semoga arwahnya diterima disisi Sang Khalik Pencipta Alam). Selain itu warga tersebut juga bertanya, hanya berdua ya perginya? dengan muka heran. Kami menjawab iya dan warga tersebut melanjutkan ceritanya. Hutan Santong ini masih angker, bahkan di lokasi air terjun Sekeper pun masih sering terdengar suara-suara yang berbau mistik. Konon disana roh-roh datu (orang-orang besar) zaman dulu yang berketurunan Buddha sering kembali ke air terjun tersebut. Setelah lumayan bercengkarama sambilan istirahat, kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kurang lebih sekitar empat km kami salah arah dari titik lokasi yang seharusnya kami belok arah kanan.
Setelah sampai pada titik lokasi tersebut, teman saya berkata “bang, sepertinya kita belum diizinkan kelokasi air terjun tersebut”. Saya pun memberikan keyakinan, untuk tetap melanjutkan perjalanan sekalipun dengan kondisi yang sudah sangat melelahkan bahkan sampai kami menggunakan tongkat. Perjalanan akhirnya kami lanjutkan dan benar saja, dalam perjalanan kami bertemu dengan simpang jalan dihutan Santong tersebut,  berdasarkan arah aliran air di sungai tersebut, kami belok ke arah kanan. Dengan jarak sekitar 200 meter, kami melihat sebuah berugak yang menurut teman itu bahwa berugak tersebut digunakan sebagai tempat beristirahat warga yang pergi ke hutan. Teman itu kembali mengatakan “bang, sepertinya kita memang belum diizinkan kesini”. Saya hanya bisa menjawab, jika satu km lagi kita tidak menemukan arah atau warga, kita kembali saja bang. Satu km sudah kami berjalan, sepertinya kami melintasi jalan yang itu-itu saja, dan tiba-tiba turun gerimis sekalipun tidak sampai lima menit. Kami tetap merasa seperti sedang berada di tempat yang tidak jelas arah dan tujuannya kemana.
“Bang, kepala saya tiba-tiba pusing” ungkapan teman yang saya minta untuk berjalan di depan. Akhirnya kami kembali, mungkin memang benar apa yang dikatakan teman itu kalau kami belum diizinkan kesini. Dalam perjalanan pulang, kami pun mulai merasakan hal-hal yang berbau mistik, mulai dari ada suara-suara sekumpulan orang sampai ada bau harum kembang. Tidak mau terbawa suasana, saya mencoba untuk membuat topik pembicaraan selama perjalanan, al hasil itu tidak merubah keadaan. Setelah sekitar 20 menit berjalan, kami tiba di titik awal lokasi kami salah arah tersebut. Sambilan istirahat, teman itu menegaskan kembali suara-suara yang didengar tadi, termasuk bau kembang yang sangat harum dimana disaat kami melintasi jalan tersebut, awalnya tidak ada bau-bau harum kembang tersebut. Kami pun mengambil kesimpulan jika “kami memang belum diizinkan kelokasi air terjun Sekeper”. Terlintas dibenak saya, sewaktu ke air terjun tiu teja sekitar sebulan yang lalu, dimana teman yang saya ajak mengatakan bahwa dia pernah bermimpi kesini, dan sedikit bercerita mengenai mimpinya. Dari mimpinya memang terlihat jelas bahwa lokasi air terjun tersebut masih mistik, dan setelah melihat hasil foto saya, dia mengatakan “bro, ini kan energy” dan saya tidak terlalu menanggapi ceritanya karena kami hanya berdua di lokasi air terjun tersebut. Wallahu A’lam.
Sekitar tiga jam kami berjalan, berangkat dari tiu teja pukul 11.30 dan sampai kembali pukul 02.30. kami pun tidak melupakan kewajiban sebagai umat muslim, kami Shalat di berugak yang disediakan untuk istirahat. Setelah itu, kamipun kembali ke rumah teman (orang yang hendak mengantar kami) yang terletak di Santong. Terlihat rasa bersalah dari teman tersebut, karena kami tidak berhasil menemukan air terjun tersebut. Kami bercerita mengenai perjalan kami di hutan Santong, dan ternyata memang benar jika disana masih angker atau dengan kata lain masih ada hal-hal yang berbau mistik dan menurut saya wajar saja karena itu adalah hutan belantara. Dan ternyata jalur yang kami lalui setelah salah arah tersebut, memang benar jalur menuju air terjun. Untuk menebus kekecewaan kami, teman itu menawarkan suatu saat sebelum puasa Ramadhan untuk berkemah disana, karena dia juga memiliki kebun disekitaran air terjun tersebut.
Kami tidak menyesali perjalanan ini, karena itu merupakan petualangan dimana kami dapat merasakan hal-hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Kelelahan dan mistik mungkin menjadi factor tertundanya kami mencapai tujuan. Namun, apabila mengenai hal-hal yang berbau mistik tersebut, kami tetap percaya bahwa itu ada, tapi bukan untuk mempercayainya.
To be continue Santong forest’s trip…

0 komentar:

Post a Comment

Back to Top